Pengintip Mimpi




Rumah tak seperti biasa. Suara tawa bapak dan celoteh mamah terdengar saling melengkapi. Sepertinya ada tamu, mungkin saudara jauh yang lama tidak berkunjung? Entahlah. Kepulanganku rasanya sedikit terusik karena keriuhan itu. Tapi siapa tamu itu?
 "Oh, kamu pulang. Kebetulan..," Mamah memergokiku sedang mengintip dari balik gorden. Aku dengar ia tadi pamit hendak membuat kopi yang diminta bapa; segelas untuk tamu, segelas untuk bapa. "Ada si akang, udah dua kali dia ke sini," bisik mamah riang seperti remaja baru bertemu gebetan. Kutautkan alis. Akang? Akang siapa? Akang mana? Sepertinya di daerah rumah tidak ada yang kupanggil dengan sebutan itu? Tidak mungkin Kang Mahdiduri, Kang Irfan HQ, atau akang-akang golongan tua lainnya mampir ke rumah (eh, maaf, ya. Haha). Mereka toh tidak tahu alamat rumahku. Mamah kemudian bergegas ke dapur, meninggalkanku yang 'baru saja' pulang, seolah kepulanganku adalah hal biasa.

Akang siapa sih?

Pertanyaan itu membawa kakiku masuk ke ruangan di sebelah utara itu; berpura-pura ke kamar mandi. "Eh, udah pulang? Sini dulu," panggil bapa yang duduk di kursi yang sejajar dengan pintu menuju kamar mandi.
Langkah kubelokkan. Menyalami bapa dan.....

Ya ampun! Kau pamerkan gigi dengan jenaka, seolah ingin diterka; dari mana kau tahu alamat rumahku, sejak kapan kau menjadi putra tertua orang tuaku, dan kenapa kau ada di rumahku.

"Tenang saja pa, dia akan saya jaga dengan baik." Katamu merutuhkan rasa khawatir berlebihan bapa dan langsung diamini seolah bapa telah kenal begitu lama untuk menaruh percaya. Kuputar bola mata untuk mengajakmu sejenak ke ruangan lain.

"Akang sedang apa di sini?"

"Bertamu. Tidak boleh?"
"Bukan tidak boleh. Tapi dari mana akang tahu alamat rumahku? Jangan bilang dari google, dia tidak memetakan daerah ini."

"Haha. Kamu tambah lucu kalau lagi panik. Nggak tanya siapa-siapa, kok. Aku cuma datang aja."

"Cuma mimpi kalau akang datang ke sini dengan kalimat itu."

"Memang ini mimpi."

"Ya ampun, akang sekarang jadi pengintip mimpi?"

"Yah, sesekali aja, sih. Kan katanya kamu kangen."

"Hidih, tapi ya nggak bawa-bawa bapa dan mamah juga, kang. Kan bikin deg-degan,"

"Ih ya gak apa-apa biar kamu juga percaya.

"Percaya ini mimpi? Aku percaya, kok."
 "Bukan."
 "Apa atuh?"
 "Percaya kalau aku juga kangen."
 "Ih, gombal."
 "Nggak gombal, ih."
 "Ih, udah atuh sana pergi. Aku mau mimpi yang lain lagi."
 "Ih, apa itu ngusir-ngusir? Aku belum ngopi, belum merasa nginap di sini."
"Katanya udah dua kali ke sini?"
 "Iya udah dua kali, tapi baru kali ini ada kamu."
 "Dih, udah ah, aku mau bangun. Silakan menginap kalau mau."
 "Iya atuh. Jangan lupa mandi. Kamu udah tiga hari nggak mandi, kan?"
 "Iya, sih. Tapi, kan, dingin."
 "Sampai kapan kamu nunggu Bandung sehangat Serang? Ngaco, ih. Bangun dan mandi, harus."
 "Iya."
 "Makan."
 "Iya."
 "Nulis."
 "Iya."
 "Baca."
 "Iya. Naha jadi kayak nulis to do list?"
 "Da kamu mah harus dibegitukan. Awas, jangan lupa."
 "Iya nggak. Udah di cap di jidat. Akang juga mandi, cukuran yang bersih, meuni..."
 "Meuni apa?"
 "Meuni mimpi ini absurd."
 "Hahaha. Sampai jumpa lagi."
 "Dah, jangan ganggu mimpiku lagi, ya. Aku bisa tidak tidur nanti."
 "Tenang, nanti aku temani."
 "Ih, apa mah. Dari mana aku tahu akang tidak tidur?"
 "Dari rasa percaya kamu."
 "Ih, da aku nggak percaya sama akang. Wlee."
 "Ih da kamu mah percayaan orangnya."
 "Ih sok tahu. Kapan aku bangunnya kalau gini? Udah cukup."
 "Hahaha. Kamu sih masih kangen."
 "Dih, jangan suka menerka, ah. Aku kaget bukan kangen."
 "Iya deh, pemalu. Sudah sana bangun."
 "Iya, sampai jumpa, kang. Hati-hati menjelajahi mimpi. Eh, lupa, akang belum membayar janji. Bayarlah nanti"
 "Aku bayar nanti. Hati-hati, ya. Sampai jumpa lagi." [*]

You Might Also Like

0 Comments