Seseorang yang Mengajak Berlari



[ADEGAN 1]
Tanganku digenggam erat. Telapak kaki terasa keras menghantam kerikil demi kerikil, lorong gelap, tembok menjulang, seperti menjadi perangkap dan kau--seseorang yang mengenggam erat tanganku, terus menarik, menyeret, mengajak berlari.
Siapa kau? Menjadi pertanyaan yang kutelan untuk membasahi kerongkongan yang kering. Senggal nafas, telapak kaki nyeri dan kebas. Lorong menjadi gang, gelap masih bertahan. Gang menjadi pasar, terang dan udara amis menjadi kebersyukuran. Barangkali kau bisa berhenti untuk sekadar menghirup udara ini. Tapi nyatanya telapak kakiku masih harus merasakan nyeri. Kita mau ke mana? Berlari dari siapa? Dari apa?


[Adegan 2]

Tanganmu kuhempas tepat ketika udara laut menerpa wajah. Kau menghentikan langkah. Berdiri sejulang mercusuar di kilometer 0. Kakiku berdarah. Kau diam saja.
Tanganku meraih ujung rok putih dengan renda yang terasa halus. Sejak kapan aku memiliki rok macam ini? Sekilas pertanyaan itu muncul, tapi nyeri di telapak kaki makin menjadi. Kain di bawah renda cantik itu harus kurelakan menjadi perban. Kau masih saja berdiri membelakangi.

[Adegan 3]

Tak lagi berlari, kali ini. Berjalan mengekor di belakangmu menjadi terasa makin tak masuk akal. Tapi punggungmu serupa magnet yang kuat menarikku untuk terus berjalan. Kemeja putih bergaris tipis dan celana pendek cokelat itulah yang kau kenakan. Se... Oh! Kakimu berdarah. Kenapa aku baru sadar jika kakimu tak beralas juga? Hey! Kupercepat langkah, meski nyeri terasa menjalar ke hati. Bodoh sekali mengajak berlari tapi tak beralas kaki. "Tolong berhenti sebentar," kataku. Kau masih berjalan dan tampaknya tak merasa kesakitan. "Tolong berhenti sebentar, aku harus...," tanganku meraih ujung rok. Tapi tak ada sisa kain yang bisa kusobek lagi. Ada, tapi pahaku akan tampak di mata siapa saja. Kucari kain lain yang bisa menyelamatkan. Baju. Oh, lengan baju yang cantik. Tapi rasanya tak bercap milikku. Kutarik sekali, tak ada suara benang putus. Sekali lagi, dan lagi, dan lagi. "Hey! Berhenti!" Teriakku seraya mengacungkan lengan baju.

[Adegan 4]

Lukamu cukup dalam. Tapi bagaimana bisa kau tak mengaduh?

 [Adegan 5]

 Bisakah kita menunggu luka ini mengering, sebelum melanjutkan perjalanan?
 Kita?
 Ya, telapak kakiku dan kakimu sama-sama terluka.
 Jangan kita. Kau saja. Aku harus berjalan lagi.
 Bodoh. Kakimu terluka!
 Ada tangan. Sini aku bantu berjalan.
 Terima kasih. Tapi, apa kau mengenalku?

[Adegan 6]
 Apa kita tidak bisa mencari cumi bakar dulu?
 Kau sudah makan.
 Kapan? Aku tak merasa melakukannya.
 Sebelum aku menarikmu pergi.
 Benarkah? Humm, tapi kenapa perutku ingin makan cumi bakar?
 Kau memang doyan makan.
 Itu perutmu keroncongan.
 Abaikan, ayo terus jalan.
 Bagaimana bisa terus berjalan jika kau kelaparan? Aku harus cari makanan, tunggu sebentar.
 Hey! Jangan sembarangan meninggalkan seseorang.
 Oh, maaf. Mau cari makan bersama?
 Bodoh.

 [Adegan 7]

Sebenarnya kau siapa? Ih, kau tak bisa makan rapi. Ini usap mulutmu.
 Humm. Lumayan enak.
 Oh, tentu saja. Cumi bakar memang enak. Apa kau suka bir? Cumi bakar lebih enak jika dimakan sambil minum bir.
 Apa kau pernah makan cumi bakar sambil minum bir?
 Humm, rasanya belum pernah. Tapi jika ada bir sekarang, pasti akan aku minum.
 Apa kau sebegitu sukanya pada bir?
 Tidak juga. Aku lebih suka kopi.
 Kenapa jadi membahas bir jika kau suka kopi?
 Eh, aku lihat di film orang-orang minum bir dengan nikmat. Kau pernah minum bir?

 [Adegan 7]

Kau punya uang untuk membayar ini?
 Tidak. Ayo makan saja. Kenapa wajahmu memucat gitu? Aku tahu kau pun tidak punya uang. Tapi, sebagai manusia, kita butuh makan.
 Dengan apa kita bayar makanan ini? Rasanya ini sangat mahal.
 Sudah. Makan saja. Ini kepalanya buatmu. Aku tidak suka.
 Heh! Berhenti makan. Kita harus pikirkan cara membayarnya, atau kita mati.
 Jangan sembarangan menyebut kematian saat makan. Kita pasti akan membayarnya. Tenanglah.
 Aku tidak bisa makan.
 Mau dibungkus?

[Adegan 8]

Jadi dengan ini kita membayarnya?
 Iya. Bukankah kita hanya punya tenaga saja? Sudah kubilang kau harus makan selagi ada makanan. Untung saja aku cerdik. Ini kantung makanan kita. Ambillah.
 Bagaimana aku bisa makan saat mataku perih akibat bawang-bawang ini?
 Aih! Ya sudah, menangislah. Aku tidak akan meledek lelaki yang menangis. Kau mau menangis di bahuku?
 Kau meledekku. Tapi, bagaimana bisa kau tidak menangis saat mengupas bawang?
 Karena aku membelakangi arah angin. Lagipula, aku sering menangis. Eh, kenapa kau mengajakku berlari? Siapa namamu?
 Rahasia.
 Itu namaku. Apa kau mengenalku?
 [Bersambung]

You Might Also Like

0 Comments