Lucy dan Obat Sakit Kepala




Saya tidak pernah benar-benar tahu apa yang saya pikirkan hingga kepala saya memberontak sejak dua bulan lalu. Obat sakit kepala yang saya beli di mini market, pereda nyeri yang menyisa di dompet ajaib, dan bahkan entah obat apa pun yang ada di dompet itu, saya meminumnya dengan sungguh. Padahal, keberadaan obat-obat itu pun karena saat saya diserang sakit saya tidak pernah meminumnya. Yah, hanya ketika sakit saja saya meminumnya. Setelah tak terasa ada sesuatu yang sakit, saya membiarkannya di dompet ajaib itu bersama obat-obat lain dari latar belakang sakit yang berbeda.
        Kebiasaan saya itu tentu saja tidak baik. Bahkan dokter yang terakhir kali saya datangi, memarahi dan menjuluki saya sebagai pasien yang senang mencelakai dirinya sendiri. Menghabiskan obat yang diberikan dokter itu harusnya menjadi kewajiban selain melakukan ibadah dan tidak menyakiti siapa pun. Seorang kawan pernah menasehati saya, agar saya tidak sering mengkonsumsi sembarang obat. "Menyetok obat-obatan itu memang baik, tapi jangan sering meminum obat itu. Itu membuatmu bodoh," ujarnya.
          Sejak kawan saya mengatakan hal itu, saya berhenti memasukan obat itu ke dalam daftar persediaan obat saya. "Obat itu membuatmu bodoh!" kalimat itu sering terngiang di telinga saya. Entah kenapa saya mempercayainya, meskipun saya merasa bodoh karena tidak mengetahui apapun soal obat dan zat yang terkandung di dalamnya. Benarkah bisa meredakan sakit? Atau memang benar, bila ternyata mereka yang berada di lab itu menambahkan zat yang membuat siapapun yang meminum obat itu menjadi seorang yang bodoh.
          Jika memang benar ada zat yang bisa membuat seseorang menjadi bodoh dalam obat sakit kepala, barangkali ada pula obat yang membuat seseorang menggunakan kemampuan otaknya secara maksimal, macam di film-film Sci-Fi. Walaupun dalam film itu digambarkan bahwa obat itu adalah obat terlarang, narkoba jenis baru atau apapun sebutan mereka. Limitless (2011), misalnya. Film Hollywood ini menceritakan mengenai orang-orang yang mengkonsumsi obat jenis baru, obat yang memberikan rangsangan kuat bagi otak mereka untuk bekerja. Menjadi lebih cerdas, lebih mudah mempelajari hal baru, pokoknya  mereka menggunakan otak mereka dengan maksimal. Tidak disebutkan berapa persen mereka menggunakan kemampuan otaknya. Hanya saja, saat mereka berhenti mengkonsumsinya, kemampuan mereka menurun, pun kesehatan mereka.
        Lain negara, lain cerita. Dalam film Lucy (2014). Film Eropa ini berkisah mengenai Lucy (Scarlett Johansson), seorang mahasiswa asal Amerika yang sedang study di Taipe. Ia ditipu pacarnya dan harus berurusan dengan pengedar narkoba asal Korea bernama Mr. Jang (Min-sik Choi). Lucy tidak mengetahui bila isi koper yang harus diantarkan itu adalah narkoba jenis baru bernama CPH4. Konflik berlanjut hingga Lucy siuman dan menyadari perutnya telah dibedah. Seseorang memasukan salah satu kantong dari empat kantong CPH4 itu ke dalam perutnya. Lucy tidak sendiri, ada tiga lelaki lain yang perutnya dibedah.  Mereka berempat itu harus mengantarkan narkoba ke empat tempat yang berbeda. Sayangnya, CPH4 di perut Lucy bocor dan itu mulai mempengaruhi dirinya. 
       
Luc Besson, sutradara film ini membuat Lucy menggunakan kapasitas otaknya mulai dari 10% dan terus bertambah seiring berjalannya waktu dan masalah yang terjadi. Kemampuan Lucy pun bertambah, mulai dari bisa membaca dan berbicara bahasa Mandarin, membaca cepat ribuan halaman di internet, berkelahi, menggerakkan benda, dan lainnya.
       Kembali ke obat sakit kepala saya, film ini cukup membuat sakit kepala saya sedikit mereda, sci-fi memang genre yang selalu saya gemari dibanding horror. Hanya saja, pada detik-detik akhir film, sakit kepala saya mulai kambuh melihat Luc Besson menjadi Tuhan.



You Might Also Like

0 Comments