Kay, Gelang Itu Selamat



Kay, sudah lama sekali aku tidak menulis sesuatu untukmu.
Apa kabarmu? Masih semanja dahulu? Atau mungkin, sekarang kamu sudah bisa memanjakan? Baguslah. Selalu senang mendengar kabar apa pun darimu.
    Kay, beberapa hari lalu, aku membereskan hutan di dalam kamarku dan menemukan suatu benda yang menarik; gelang. Kamu ingat? Gelang yang pernah kamu berikan padaku? Ah, iya, maksudku bukan sebenarnya gelang, tapi plastik botol air mineral 100ml yang kamu sarungkan ke pergelangan tanganku. Aku memakainya selama beberapa hari, sebelum akhirnya sedikit demi sedikit plastik itu robek, karena bergesekan dengan lengan baju. Lalu, aku membungkusnya dengan plester dan memamerkannya padamu; "ini gelang darimu, sudah aku selamatkan." Kataku. Kamu tertawa seperti meledekku.
     Mungkin kamu pikir, aku cukup kekanakan menganggap sampah macam itu sebagai benda berharga. Tapi, bagiku, sampah ini lebih berharga dari seribu rayuan. Tidak hanya itu, sampah ini pun pemberian orang lain; kamu. Jadi, aku harus menyimpannya.
     Eh, Kamu pernah dengar ceritaku soal sedus besar nota-nota dari berbagai toko yang akhirnya aku buang? Yah, seperti itulah. Aku tidak sadar mengumpulkan itu semua. Tidak pernah aku bermaksud mengumpulkan kenangan, atau semacamnya. Tapi, sepertinya hal itu masuk ke alam bawah sadarku saja. Waktu aku kecil, misalnya. Aku pulang selalu membawa benda-benda pemberian orang: batu, genteng, kelereng, daun, kayu, dan benda lainnya. Aku menyimpan itu semua, meskipun akhirnya ibuku menyingkirkannya. Mungkin ia pikir putrinya kurang waras menyimpan benda-benda itu. Yah! Seperti tawa meledekmu waktu itu.
     Tapi, aku masih ingat, waktu itu ada orang yang berkata padaku bahwa benda-benda yang diberikan pada kita itu adalah pengganti orang yang memberikannya. Ini bukan berarti kita kesepian atau semacamnya. Tapi, lebih kepada, hargailah pemberian orang lain. Caranya, ya, dengan menyimpannya. Begitulah. Hehe.
   Nah, sekarang, aku cuma ingin mengabarkan; gelang itu selamat, dan akan tetap aku simpan. Hanya saja, aku tidak menemukan bunga kecil yang kamu sebut titisan bintang, dan kamu berikan ketika mood-ku turun drastis. Padahal, tempat penyimpanannya masih ada. Tapi, saat kubuka, bunga itu sudah tidak ada. Apa jangan-jangan bunga itu kembali ke langit? Atau mungkin, menghilang begitu saja karena kita sudah jarang berbincang? Akh, sayang sekali. Padahal itu bunga pertama yang diberikan orang lain padaku.
       Oh, iya, jangan berpikir aku sedang tidak baik saat menulis ini. Atau sedang kangen padamu. Jangan. Aku sedang baik-baik saja. Memang, sih, kepalaku sedikit pusing dengan hal-hal yang seharusnya tidak aku ambil pusing. Mungkin, bila aku ceritakan padamu, kamu akan berkata; udah, sih, nikmati aja. Akh! Aku lupa cara menikmati yang satu itu. Aku lupa cara merasa atau pun menebak rasa. Apa kamu mau mengingatkan? Atau sekadar memberi petunjuk; ini rasa A, B, dan seterusnya? Sudahlah. Aku sudah terlalu banyak bicara. Kamu pasti ikut pusing juga. Sekarang, mari kita lupakan saja, dan mari berbahagia. Eh, kamu bahagia, kan? Aku juga. [*]

You Might Also Like

0 Comments