Still Dekil: Dalam Ingatan Terbatas

    


 Setelah beberapa kehilangan, saya kembali diingatkan seseorang mengenai cerita ini. Awalnya hanya percakapan mengenai 'who are you', dan ternyata seseorang mengenal saya sebagai salah satu bagian dari cerita ini. Meskipun saat ia menanyakan nama, saya lupa. Duh! Maaf.
      Sebenarnya cerita ini sudah saya tulis di 'Agatis', laptop pertama saya yang sudah tidak ingin hidup. Mungkin kuburannya ada di Buah Batu, Bandung. Lalu saya coba buat cerita lagi di 'Kuya', tapi sepertinya nasibnya sama saja. Belum sempat ke bab lima, laptop kedua itu mangkat ke lemari. Mati.
       Jadi, mari kita sederhanakan saja di sini. Dan semoga versi lengkapnya nanti bisa saya dapatkan setelah acara 'pemanggilan arwah' di dukun elektronik.
       Alkisah, tiga sahabat; saya, Ayu, dan Nadjela hidup rukun meski tidak tinggal di satu kawasan. Dan suatu hari, setelah kekenyangan makan 'mie gitting'  hasil kreasi bersama, Ayu mengusulkan membuat grup band. Hayalan kami pergi ke mana-mana saat itu. Tapi, masalah hadir ketika, Nadjela dan saya tidak pandai memainkan alat musik. Apalagi saya, stick drum saja belum pernah pegang. "Ayo, sebagai unjuk gigi, bahwa sedekil apa pun kita, tapi kita bisa tampil. Bisalah, nyet, bisa." Ujar Ayu saat itu. "Mungkin dengan membuat band kita bisa dapat cowok?" Sambungnya lagi.
      Memang, saat itu kami sangat dekil, dan lebih nyaman dengan kedekilan itu hingga tidak sadar bila kami masih jomblo. Di sini kami sepakat memilih 'Still Dekil' sebagai nama band. When mojang nyari lanang, itu tag-line yang kami celetukkan, mungkin semacam niatnya begitu, atau apalah. Akhirnya 'ayo' pun keluar dari mulut saya dan Nadjela. Dan Creed-nya Radio Head dipilih untuk menunjukkan ketidak-weirdo-an kami itu.
     Hal pertama dilakukan tentu saja belajar. Nadjela yang memegang posisi bass, langsung diajari Ayu. Sedang saya, menurut Ayu dan sudah disanggupi Ketua UKM Klasik saat itu, akan ditutori oleh salah seorang drummer Klasik. Tapi masalahnya adalah waktu. Drummer Klasik saat itu sedang banyak kegiatan. Jadi, saya hanya diminta mendengar ketukan saja. Dan dengan kepercayaan diri tingkat dewa, Ayu mengajak menggunakan studio Klasik untuk latihan bersama. Padahal saya masih belum pede sekali. Takut salah, dan lainnya. Tapi, Ayu dengan superiornya menarik saya untuk duduk di kursi drum. Pertamanya asyik, masih bisa ikut. Larik kedua, sudah mulai kacau. Dan ketiga, saya berhenti menggebuk. Hingga akhirnya saat kami hendak mencoba lagi, seorang penyelamat datang. Drummer Klasik yang kemudian 'mau' menjadi guru saya. Tentu saja dengan rayuan maut dari kami. Yah, tentu dengan kekuatan sabar yang teramat, dia menjadi guru saya.
     Mungkin jika saat itu saya tidak berbelok ke jalan lain; memenuhi panggilan jiwa kembali ke dunia broadcast (radio), mungkin sekarang saya sudah mahir menggebuk drum. Mungkin, saya juga ikut di panggung pertama kami, begitu pula di acara-acara lainnya. Entah ini egois, atau wujud dari ketahudirian. Karena jalan kembali ke radio teramat lurus, saya kemudian menyerahkan posisi drum ke orang yang lebih mampu. Sementara saya mundur ke manager mereka. Walaupun, ya, saya bagi-bagi waktu dengan siaran juga.
    Dan sekarang, saya kangen mereka berdua. Melihat update-nya, hingga kini sepertinya Still Dekil tetap eksis. Saya bersyukur bila Still Dekil itu yang saya kenal. Sebab itu pula yang dikatakan Ayu saat satu persatu dari kami sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ia yang akan membawa nama itu ke mana pun. Istilahnya kutukan. Dan sepertinya, kutukannya terbukti. Bahwa di mana pun kami berada, terpisah satu sama lain, akan ada saja yang mengingatkan kami pada Still Dekil.
     Selamat. Semoga lain waktu bisa bertemu. Bisa melepas beban masing-masing dengan bercerita. Dan tentu, akan selalu ada maaf di sela-sela obrolan itu. Maaf saya kangen. Maaf, resep mie gitting itu apa, ya? Sukses untuk kita semua. :-)

You Might Also Like

0 Comments