Tulisan di Pohon, Jalan, dan Tembok

    


 Ceritanya hari ini saya joging. Eh, bukan ding, tapi jalan-jalan. Sebenarnya salah satu alasan saya melakukan jalan pagi ini adalah rasa keuheul (kesal) saya pada mas-mas tukang sayur. Biasanya pukul 05.30/06.00 mas-mas itu sudah berisik meneriakkan kata 'yuuurrr!' saat lewat. Tapi, sudah beberapa hari ini blok tempat tinggal saya sepi. Paling, ibu-ibu sayur yang jualan siang hari saja. Nah, karena kekesalan inilah, saya sengaja jalan ke depan. Siapa tahu berpapasan dengan mas-mas sayur blok A. Dan benar saja, saya bertemu. Tapi, mungkin karena mamang sayur ini setia pada ibu-ibu di blok itu, jadi ia mengajak saya ke blok A saja. Tentu saja saya tolak. Jauh. Puguh dari tempat saya mencegatnya ke rumah tempat tinggal saya pun jauh, apalagi harus jalan dulu ke blok A. Rempong si mamang. Jadilah saya belanja sayuran di tengah jalan. Haha... Tapi, karena hal ini, acara jalan-jalan paginya jadi harus dipotong karena harus pulang dulu menyimpan sayuran. :-))
      Setelah saya simpan, dengan buku Hikmah Zharathustra (Nietzsche), dan binder, saya meneruskan acara jalan-jalannya. Dan tentu saja, Melukis Wajah Tuhan terus melagu di telinga saya. Pagi ini saya ingin bersenang-senang, bersenandung, dan mungkin menggambar atau membuat tulisan apa saja di jalan. Rencananya begitu. Tapi, rencana ini berubah ketika di jalan tidak jauh dari gerbang depan, saya melihat tulisan kelamin perempuan di jalan. Ini maksudnya apa? Ya sudah, insting saya mulai bekerja dengan sendirinya. Saya potret tulisan-tulisan. Di pepohonan pinang atau sejenis itu, di jalan, di tembok, tiang, dan di mana saja. 
      Memang, areal gerbang depan Bumi Mutiara Serang ini, setiap sore, sering dijadikan tempat kumpul-kumpul remaja tanggung. Entah bersama gengnya, atau bersama pacar. Tempatnya asyik, sih. Cuma, tangan-tangan mereka itu yang tidak asyik. 'Terlalu kreatif, sampai merusak pemandangan di tempat nongkrong mereka sendiri. Mungkin maksud mereka menandai 'ini kawasan gue', macam hewan yang mengencingi kawasan mereka. Lihat saja foto-fotonya, ya.
    Lalu, mereka yang saking 'jatuh cinta'-nya pada pacar, jadi mengukir nama dirinya dan pacar di pohon pinang. Misalnya: "Koyod love Kiyid." Jelas sekali yang menulis masih remaja tanggung. Asa kacida kalau sudah dewasa masih mengukir di pohon begitu. Eh, saya juga pernah mengukir di pelepah pinang, ding. Tapi bukan nama dan love-love-an begitu. Lagian saya pikir, pelepah akan jatuh saat sudah tua (pembelaan diri). Tapi memang, judulnya tetap ukiran, di mana pun itu. Saya juga salah. Mungkin saja, pohon pinang yang saya ukir pelepahnya itu bicara: "Aduduh, situ apa-apaan, sih? Sakit!" Sementara pohon-pohon pinang yang mereka ukir itu menggerutu: "Situ yang jatuh cinta, kok tubuh saya yang situ ukir? Tubuh situ sendiri dong ukir."
      Orang yang sedang jatuh cinta memang suka tidak berpikir panjang. Kalau putus karena disakiti orang yang namanya ditulis itu, apa mereka tidak berpikir ingin menebang pohon itu? Tapi sepertinya ada juga yang kembali lagi untuk menghapus nama di sana. Sebab, saya menemukan semacam ukiran baru yang menganga. Apa mereka tidak malu sama pohon pinang itu? Mungkin si pohon nyocohkeun (semacam mensyukuri) putusnya hubungan mereka. Mungkin, mereka putus karena doa pohon pinang juga.:p
Ah, sudahlah. Selamat pagi, semuanya. Semoga di hari depan kita bisa lebih menjaga segala sesuatunya. Termasuk menjaga tempat nongkrong kita bersih dari segala sampah, dan coretan-coretan tanda kawasan dewek (semoga ada ruang untuk berekspresi anak muda ini), dan semoga jatuh cinta tidak membikin kita lupa bahwa pohon itu hidup, dan mungkin kesakitan saat kita ukir tubuhnya. Dan semoga nasib baik, kebahagiaan, dan rezeki berpihak pada kita hari ini.

Salam, semangat
dari yang belum mandi. (9^_^)9

P.S: Nanti saya tulis yang lebih serius mengenai ini. Untuk saat ini, begini saja dulu. :p





You Might Also Like

0 Comments