Selamat Minggu, Babeh. (In Memoriam Nandang Aradea)

Sabtu, 12 Oktober 2013

"Teh, Pak Nandang udah nggak ada. Cepat bangun!"
Suara Fajar di telepon itu membuat kesadaran yang belum kumpul benar seperti ditarik sekaligus ke tubuh, hingga buat tubuhku sontak melonjak berdiri. Hampir saja aku berlari ke luar kamar dengan pakaian amat tipis. Tapi saat kubuka pintu, di depan kamarku sudah bermukim sebuah motor putih milik pacar kamar sebelah. Akhirnya, kuraih celana, dan kaos terdekat. Memakainya buru-buru, sebelum berlari ke kran air di bagian belakang. Di kepalaku masih terus bertanya; apa ini benar? Tidak mungkin babeh (panggilan sehari-hari Nandang Aradea di Kafe Ide) menyerah, kan? Mungkin hanya kritis saja. Iya, kan? Begitu pula ketika sampai di depan Rumah Sakit Sari Asih. Hampir saja aku membawa kabur helm, jika tukang ojek yang cuma mengantar sampai gerbang itu tidak teriak. Dan kugelindingkan saja helm itu, dan terus berlari menuju lobi. Tak kuhiraukan omelannya, dan tatapan orang yang hampir kutabrak di pintu.
Di lantai dua rumah sakit, orang-orang sudah banyak yang datang. Ada yang berjalan gegas, berbincang pelan sambil berdiri, bahkan banyak yang duduk lemas. Kutanya salah seorang dari mereka; benarkah? Dia jawab dengan anggukan kepala dan ekspresi yang sama terkejutnya dengan ekspresi wajahku. Aku masih tidak percaya. Kumasuki ruang berlabel ICU itu. Di sana pun banyak orang dengan ekspresi kesedihan yang sangat. Tangisan terdengar di antara rangkulan. Sementara kepalaku masih bertanya; "Orang-orang itu kenapa, sih? Babeh belum meninggal, kok..."
Kucari Fajar yang tadi membangunkan, dan memberi kabar ini. Kutemui dia di lorong depan ruang ICU, duduk lemas bersama beberapa orang lainnya. Padanya aku bertanya; benarkah? Tapi dia hanya menggelengkan kepala. Tidak tahu. "Tapi orang-orang di BBM sudah sibuk mengucapkan innalillahi. Bahkan pasang foto bapak pula. Tega banget mereka," katanya. Aku juga masih tetap belum percaya. Sehingga aku berkata padanya untuk menunggu saja. Mungkin berita di BBM itu salah. Mungkin orang-orang yang kukenal dan datang ke rumah sakit ini salah berekspresi. Mungkin ibu (istrinya babeh) menangis karena babeh masih koma. Dan segala kemungkinan lainnya di kepalaku.
Aku masih sempat menemui kawan-kawan Kubah Budaya, bercanda dan tertawa bersama di selasar lantai dua itu. Meskipun aku masih bertanya-tanya; Benarkah? 
Hingga kemudian kususul teman yang hendak masuk ke ruang ICU. Di ranjang paling ujung dari sebelah kanan pintu ruang ICU, dan sudah ditutup tirai itulah kutemui babeh yang sudah ditutup kain putih. Kusentuh lengan bersedekapnya, seperti aku menyentuh lengannya saat aku dengar ia dipukuli di Bandung. "Beh, babeh baik-baik aja?" Kalimat yang sama itu pula keluar dari mulutku. Dulu, ia hanya tertawa sembari menunjukkan lebam di lengan dan di beberapa tempat di tubuhnya. Ia tertawa dan mengatakan semunya sudah selesai. Dan kupahami itu sebagai kalimat; 'aku baik-baik saja, meskipun lebam begini.'
Tapi kali ini ia diam saja. Kupegang sekali lagi. "Maaf, ya, beh. Harusnya ute di sini tadi pagi. Ute ketiduran, maaf..." Aku masih berharap ia akan bangun dan mengatakan; "Kau ini kebiasaan" atau kalimat apa saja untuk memarahiku. Tapi ia tetap diam saja. "Babeh, ini beneran, ya? Ute harus ngucapin selamat jalan sekarang, ya?" air mata mulai meleleh begitu saja. Hingga akhirnya kuucapkan juga ketika aku ingat orang-orang menunggu baju biru yang kupakai; "selamat jalan, babeh. Mungkin di sana agak gelap, maka tugas ute dan semua orang yang menyayangimu, mencintaimu, menjajarkan obor untuk kepulanganmu. Jangan khawatirkan kami."
Dan sekarang, aku hanya ingin mengucapkan; selamat Minggu, Beh. Selamat beristirahat dengan nyaman di sana.

You Might Also Like

0 Comments