Tanda Empat Tanya





Paket Dari Jepang, Amerika, dan Korea (bagian Purwekerto)

Matahari baru separuh terlihat di atap rumah tetangga, tapi Pak Pos sudah mengetuk pintu kamar saya. Ia memberikan paket yang dikatakannya dari Jepang, Amerika (sahut teman saya), dan Korea (teman lainnya). Tapi sebab hari itu Pak Pos-nya berdua, dia akhirnya mengatakan bahwa paket itu berasal dari Purwekerto. Saya lega mendengarnya. Bukan apa-apa, paket dari Jepang, Amerika, atau Korea, rasanya tidak mungkin untuk saya. Sebab, pertama, saya tidak sedang berbelanja apa pun. Kedua, tidak ada yang mengabari saya hendak memberi bingkisan. Ketiga, saya pikir paket itu salah alamat. Tapi, karena Pak Pos satu lagi mengatakan dari Purwekerto, apalagi ditambah embel-embel STAIN Purwekerto, ingatan saya langsung tertuju pada sayembara cerpen yang diadakan di sana. Pastilah isinya buku, dan sertifikat. Bukan sepatu, tas, atau barang lainnya yang dikirim dari Jepang atau negeri mana pun.

Kupu-kupu di Tangkai Kaca Mata

Demi Lovato terdengar bernyanyi di ponsel saya ketika pagi jatuh ke siang. Saat itu teman saya menghubungi, dan bertanya di mana keberadaan saya. Tentu saja kamar, sebab tidak ada rencana keluar hari ini. Tapi, ajakan dia cukup membuat energy yang tadinya seperti terkuras (begadang semalaman), bisa full lagi. Heuheu. (yang ini skip aja, deh. Ketahuan, mbahaya. :p). Setengah jam adalah waktu yang saya gunakan untuk mandi, dandan, dan pergi ke tempat janjian. Tidak perlu lama untuk cantik, akh, itu iklan, bukan? Saya juga tidak terlalu peduli pula soal itu.
Di bangku itu, bangku di bawah pohon Albasia, saya dan teman berbincang tentang segala hal. Tentang buku antologi cerpen yang dikirimkan pagi tadi, tentang cerpen saya di dalamnya, dan tentang puisi yang harus dikirimkan ke sana, dan sini--pun tentang lelaki yang diamdiam saya tunggu. Tapi, perbincangan berhenti sejenak ketika ada kupukupu kecil di tangkai kaca mata saya. Kupu-kupu (mungkin anaknya) itu berwarna putih. Ia diam saja ketika saya melepas kaca mata, dan menaruhnya di atas buku, lalu memotretnya.

Burung Gereja Yang Mati Di Makan Kucing


Siang beranjak sore dan kawan datang silih berganti hingga saat ini. Kami sedang berbincang tentang cerpen yang saya buat saat ini. Tentang musik, dan single Frau yang baru saya unduh di rollingstone.co.id, gratis, berjudul Tarian Sari. Tapi tibatiba kawan saya berseru bahwa ada burung yang jatuh di kakinya. Ia mengambilnya, dan kami sibuk menerka asal burung itu. Mungkin dari langit, kata saya. Terluka mungkin, kata kawan perempuan. Dan seterusnya. Saya kemudian memenuhi permintaan kawan untuk mengabadikan burung itu dengan kamera ponsel. Namun, setelah gambar diambil, burung itu terbang begitu rendah hingga...
Happ! Masuk mulut kucing.
Kawan yang tadi memegangnya langsung menyatakan penyesalannya sebab ia melepaskan burung itu. Sementara saya menjerit dan menunjuk-nunjuk kucing--setengah memohon untuk menolong burung itu. Saya tidak bisa menolong, sebab kucing membuat saya merinding. Maaf, ya, burung.

Samar Wangi Kemboja

"Ikh, kok bau bunga kemboja?"
"Iya"
"Samar tapinya,"
"Iya aku menciumnya juga"
"Apa ini? Kenapa hari ini aneh sekali? Pak Pos, Kupukupu, dan sekarang wangi Kemboja?"
"Akh sudahlah"

You Might Also Like

0 Comments