Sambal Love: Kisah Cinta Ala Cobek dan Ulekan


Sebenarnya, saya tidak tahu dari bagian mana saya harus membicarakan novel setebal 184 halaman ini. Saat membaca judul novel yang seharusnya didedah Mbak Asti Nurrachmayati ini, Sambal Love, saya langsung menebak bahwa ini adalah novel komedi. Komedi cinta, adalah tebakan saya yang dibenarkan oleh cuplikan kisah di cover belakang novel ini.

Sambal love adalah kisah cinta berbalut sambal. Sungguh pedas! Tapi tetap membuat orang tak pernah kapok mencicipinya. Bagi para pencinta sambal, novel ini patut dijadikan referensi untuk menambah ilmu persambalan. Di dalamnya, bertebaran aneka resep praktis sambal nusantara. Selamat kepedasan!

Selain itu, komentar-komentar para pembaca yang ditulis pun menambah kebenaran tebakan saya. Ini novel komedi, komedi sama dengan lucu, tentu. Namun, hingga saya bolak-balik membaca novel ini, mulai dari kamar kost-kampus-kamar kost-toilet kost-Kubah Budaya-warteg-warung-kamar kost-lalu sekarang di Rumah Dunia, saya justru masih bingung. Bingung harus tertawa atau tidak. Bingung karena tidak tahu bagian mana yang harus saya tertawakan kemudian. Apa saya telah melewatkan suatu cerita?
Semacam menonton film horor komedi berjudul ‘Pocong Melamar Kuntilanak’,  genre film yang sekarang sedang populer di bioskop-bioskop kita—tentu judul film itu belum ada, barangkali nanti Kang Langlang akan membuat naskah skenarionya? Film yang tidak membuat tertawa, tidak membuat saya merasa takut, malah membuat saya merasa kasihan. Kasihan sekali makhluk itu dikomersilkan sementara dia sendiri tidak diberi royalti, atau penghargaan sekali pun.
Dan untuk semua tokoh yang ada di novel ini, saya juga merasa kasihan pada mereka. Andai saja mereka seorang manusia seperti kita, manusia nyata, mungkin mereka akan mengutuk, atau sekedar menyampaikan keluh kesah karena diperlakukan tidak beradab oleh pengarangnya. Semacam Tingbating yang bisa berdebat dengan pengarangnya—Firman Venayaksa, atau semacam tokoh lainnya yang dibuat-bisa berdialog dengan pengarang.
Oke,  jangan terlalu serius dahulu, anggaplah itu sebagai ucapan bela sungkawa saya pada tokoh-tokoh dalam novel ini. Ojak, Diah, Bang Sam, dan tokoh lainnya, atas nama pembaca saya turut berbela sungkawa, dan berdoa semoga para doyaners pedas dalam novel ini usus dan kesehatannya baik-baik saja.
Kita masuk ke kisah dalam novel ini…
Diceritakan seorang Ojak/Abdul Rojak, lelaki berambut kribo, berbadan ceking, sering dicuekin pedagang sayuran lantaran dia selalu membeli tempe atau tahu hanya setengah batang saja di Pasar Mayestik— tetapi ia masih menarik perhatian ibu-ibu/menjadi pusat perhatian karena fisiknya yang unik itu. Ia salah seorang anggota keluarga penyuka sambal, dan hanya dialah yang anti sambal atau tidak menyukai sambal bahkan aromanya sekali pun (hal 9-13).
Berbeda halnya dengan Diah/Siti Rodiah, seorang perempuan tomboy, dan sangat suka sambal—atau bisa dikatakan dia sangat terobsesi hal-hal yang berbau pedas. Mulai dari minuman kesukaannya tiap pagi, jus tomat rasa pedas, aksesoris yang digunakan juga, mulai dari koleksi kaos, tas, kaos kaki, sepatu, semuanya bergambar Lombok merah. Antingnya kuning hijau merah ala warna cabai rawit, jam tangannya merah semerah kulit cabai merah, gantungan kunci tasnya, dan lemarinya pun semuanya miniatur cabai (hal 15).
Lalu, tokoh lainnya, Bang Sam/Sam’un, seorang pembuat sambal yang juga mantan juru masak terbaik di Lapas Cipinang. Dikisahkan, karena kelezatan masakannya beberapa tahanan hingga menolak dibebaskan. Semasa di Cipinang, istrinya Balilah, adalah pencicip sambal ulung dan digjaya diseantero jagad persambalan. Namun, kemudian meninggal setelah mencicipi sambal terbaru kreasi suaminya itu. Kematian yang membingungkan hakim dan polisi di Indonesia, katanya. Entah Balilah tewas karena kepedasan sambal Bang Sam, ataukah telat dikasih minum, atau justru akibat kepalanya terbentur pada cobek batu yang dipenuhi sambal sesaat setelah ia meminta minum pada Bang Sam yang panik (hal 20).
Ada pula, Romeong, dan Julieong, kedua kucing ajaib se-ajaib majikannya. Julieong memiliki kesukaan seperti Diah; suka pedas yang dipelihara oleh Ojak, dan Romeong seperti Ojak; anti-pedas, yang dipelihara oleh Diah.
Dan tokoh lainnya yang hanya numpang lewat, semisal delapan cowok Nusantara yang mengikuti audisi pemilihan pacar Diah. Delapan cowok dengan aneka resep sambal yang disyaratkan dalam audisi. Mulai dari Frans, cowok asal Lombok dengan sambal beberuk terung-nya. Dadang Alfonso dari Bandung dengan sambal oncom-nya, I Gede Ketut dari Bali dengan sambal matah-nya, Jo Johan dari Manado dengan sambal ikan roa-nya, Hamran dari Bangka Belitung dengan sambal lingkung-nya, Jupen dari Padang dengan sambal mentah maco-nya, Mujoyo dari Surabaya dengan sambel pencit-nya, dan Asep Ibnu Kasep dari Garut dengan sambal cibiuk hijau-nya.
Dikisahkan, seorang Ojak yang anti sambal ini kuliah di kampus Institut Jakarta alias Injak. Di sana ia bertemu dengan Diah, sesama mahasiswa baru. Awal bertemu di kampus—bayangkan saja di koridor kampus, dalam situasi dramatis, alias pertemuan klise bertabrakan. Kemudian mereka bertemu lagi di kantin sambal-nya Bang Sam yang sedang mengadakan promo sambal gratis bagi mahasiswa baru dan lama. Bagi para mahasiswa yang doyan sambal, tentu saja itu adalah kesempatan menarik. Namun tidak bagi Ojak. Alergi sambal membuatnya tidak bisa berbuat banyak saat ditarik oleh seorang senior ke kantin itu. Nasib sial menimpanya lagi ketika piringnya malah diisi sambal lilit isi mercon yang dipesan Diah. Pertengkaran pun terjadi. Dari saat itulah, Ojak dan Diah menjadi musuh bebuyutan di setiap kesempatan, hingga akhirnya pada suatu ketika saat mereka berada di kantin Bang Sam, mereka pun berkenalan.
“Ojak! Diah! Watak kalian memang sama-sama keras seperti ulekan dan cobek batu ini!” Bang Sam bersyair. “Meski demikian, kalian akan tahu bahwa kalian selalu akan saling bertemu dalam menghasilkan sebuah cita rasa yang pedas tapi nikmat! Dibenci namun dicari! Mulai hari ini sadar tidak sadar, kalian sedang mengulek rasa itu menjadi sesuatu yang nikmat senikmat sambal! Camkan itu, duo bawel! Camkan! Camkan! Camkan! Camkan!” Bang Sam kepada keduanya (hal 95).
Dari sanalah gosip menyebar. Gosip yang membuat Ojak menggosipkan diri sendiri bahwa Diah-lah yang mengajaknya berpacaran terlebih dahulu, sedangkan bagi Diah gosip itu membuat harga dirinya terinjak dan ia pun semakin galak. Hingga akhirnya, Ojak ketahuan oleh Diah sedang menggosipkan diri itu. Diah pun kalap, dan Ojak tiarap di ketiaknya yang bau, hingga kemudian dengan lantang menyebutkan kata ‘putus’ pada Diah. Padahal, tentu tidak ada hubungan apa pun antara mereka. (Kisah selanjutnya, baca sendiri saja, oke?)

Novel ini tidak hanya menyajikan cerita tentang kesukaan pedas para tokoh-tokohnya, keajaiban-keajaiban tingkahnya yang diramu dalam bahasa yang mudah dimengerti, sedikit lebay, ah, rasanya bukan sedikit lagi. Tapi, banyak ramuan lebaynya! Tapi, itu saya anggap pemanisnya. Tidak manis rasanya jika novel komedi tidak lebay, bukan? Di beberapa titik, saya menemukan beberapa paragraf menarik, misalnya saja pembicaraan tentang para narapidana yang diucapkan Balilah—sebelum ia meninggal;

“Mereka itu tidak semuanya penjahat. Ada yang hanya korban. Korban fitnah Negara. Tidak semuanya jahat. Kamu juga, kok, lama-lama jadi suami nggak pengertian amat, sih, Sam!” (Hal 20)
 Juga paragraf lain yang diucapkan Bang Sam terhadap Ojak dan Diah yang disebutkannya mirip cobek dan ulekan, seperti yang sudah saya tulis di atas.
Selain itu, novel ini juga menyajikan informasi-informasi tentang segala hal berbau pedas. Misalnya saja tentang sejarah sambal, tips cara memasak sambal, cara mengobati kepedasan, juga tentang sambal Indonesia yang diproduksi oleh Belanda dengan menggunakan nama Indonesia dengan kosa kata tempo dulu, misalnya saja, Ketjap Manis yang diproduksi Go Tan. Ada lagi, tempe yang menjadi makanan mewah di Jerman.
Mengenai hal itu, saya jadi ingat lirik lagu Oma Lien, Louisa Johanna Theodora “Wieteke” van Dort, ”Geef mij maar nasi goreng”. Liriknya memang berbahasa Belanda, namun isinya seperti: sambel, krupuk, bandeng, trasi, tahu petis, sate babi, ketela, bakpao, ketan, gula Jawa, lontong, onde-onde, kue lapis, adalah bahasa Indonesia. Kecintaannya pada Indonesia tak hanya di lagu tersebut, namun di lagu lainnya, semisal Arm Den Haag (Kasihan deh, Den Haag). Jadi, dari sana pun sudah dapat dilihat bahwa sesungguhnya Negara kita yang kaya ini banyak yang mencintai, namun kita sendiri terkadang terlena, dan lupa akan kekayaan itu sendiri. Nah, novel ni pun sedikit banyak menyentil hal itu.
Saya rasa, informasi-informasi yang disampaikan itu menarik. Namun, tidak jadi menarik ketika informasi tersebut begitu persis seperti dalam artikel, tanpa meramu sendiri kata-kata tersebut. Meski pun memang, ada sedikit tambahan pemanis, karena informasi ini diberikan dalam percakapan antar tokoh.
Hal yang sama pernah terjadi, ketika saya membeli sebuah novel teenlit dengan sukacita, namun saat membaca saya sangat berduka cita. Novel yang sangat Wikipedia! Saya menjuluki novel itu.
Dalam novel ini pun saya menemukan hal tersebut. Kita lihat;

“Perhatikan baik-baik. Hampir semua masakan Nusantara selalu dilengkapi dengan menu sambal. Bahkan di Menado, pisang goreng pun dimakan dengan sambal. Kalau pun sambal tak tersedia di meja, beberapa potong gerusan cabai merah atau beberapa potong cabai rawit dicepluskan ke mulut sebagai teman makan. Sambal adalah cabai meski tidak diolah. Ingat itu!” (Cerita Bang Sam kepada Ojak—hal 31)

Bandingkan dengan cuplikan artikel ini:

Hampir semua masakan Nusantara selalu diiringi dengan sambal. Bahkan di Menado, pisang goreng pun dimakan dengan sambal. Kalau pun sambal tak tersedia di meja, beberapa potong gerusan cabai merah atau beberapa potong cabai rawit dicepluskan ke mulut sebagai teman makan. (resepmasakanindonesia.info)

Hanya satu kata yang diubah, bukan? ‘diiringi’ menjadi ‘dilengkapi’. Dan hampir di penceritaan tentang sejarah sambal ini, serupa dengan artikel yang dituliskan dalam blog tersebut. Juga tentang sambal bermerek Indonesia, namun diproduksi Belanda pun, hampir serupa dengan artikel yang saya baca di detiknews.com berjudul ‘Khas Indonesia, Merek Belanda.
Saya rasa, bila benar ingin memberikan informasi, tidak semestinya meng-copy-paste atau copas seperti dalam isi artikel. Dengan meramu bahasa kita sendiri, akan menjadi nilai tambah bagi tulisan kita. Walaupun, benar, kita membaca artikel yang ada dalam daftar penelitian kita sebagai penulis.
Meski dalam kasus ini, misalnya, si tokoh adalah seorang yang tidak gaptek, sangat up to date, gaul, gape internet, saya rasa saat ia membicarakannya tentu dengan bahasa sendiri, tidak sepersis dalam artikel yang pernah dibacanya. Kecuali, tokoh itu dalam kondisi ‘sedang’ membaca artikel yang berada di internet.
Hal lainnya terjadi lagi ketika Diah klojotan akibat kepedasan di halte bus Injak saat makan gado-gado bersama Ojak. Seorang ibu-ibu tukang gado-gado yang sangat pintar menyebutkan sepuluh cabai terpedas di dunia atau cabai yang ia tambahkan pada gado-gado yang dipesan Diah dan Ojak. Seorang tukang gado-gado yang terlalu pintar menurut saya. Kenapa kemudian tidak jadi chef/koki atau bekerja di Dinas Pertanian saja sekalian?
Kemudian, kejadian absurd lainnya dimunculkan ketika Ojak seorang yang mulanya tidak doyan sambal kemudian sangat mahir dan tahu sekali bagaimana membuat sambal, juga tips-tipsnya. Bahkan, ke-8 cowok Nusantara itu pun takluk dan berguru padanya.
Alamak!
Apakah ini karena ulekan dan cobek sudah meramu resep sambal cinta? Sehingga si ulekan yang tidak termasuk doyaners sambal itu menjadi sangat tahu tentang sambal?

Untuk yang terakhir, saya kira harus menambahkan peringatan ini.
Don’t try at home! Jangan coba-coba melakukan kegilaan para doyaners sambal dalam novel ini. Apalagi mencoba menjadi seorang Diah yang sangat doyan makan sambal. Jangan sampai seperti ke-22 narapidana di Lapas Polresta Bandar Lampung, yang diberitakan oleh lampungpost.com, tidak menuruti nasihat dang telop ga sambol kik mak aga bucor (Jangan terlalu banyak makan sambal kalau tidak ingin diare). Alhasil, mereka harus dilarikan ke Rumah Sakit.

 Serang, 24 Juli 2012

*Makalah ini disampaikan dalam acara diskusi “Nyenyore Ala Rumah Dunia”. Rabu, 25 Juli 2012, di Rumah Dunia.

You Might Also Like

0 Comments